Page 3 of 9

Jendela Dina , Tassia dan Mince

Jendela Kotak Berbingkai Kayu Merah

Dina duduk termangu menatap keluar. Di sini setahun yang lalu , dari jendela ini dia pertama kali bertemu dengan Angkasa. Dia ingat tiap detik pertemuan itu. Ketika dia melihat Angkasa yang saat itu sedang menyeberang jalan dan sebuah mobil hampir saja menabraknya. Dina ingat dia segera bergegas keluar kafe itu dan menolong Angkasa. Itulah pertama kali mereka bertemu dan kisah itu pun mengalir dengan sangat indah. Tidak dapat ditolak perkenalan itu berjalan ke arahyang membahagiakan.

Dina menitikkan air matanya. Angkasa kini telah pergi. Dia ingat berjanji untuk tidak menangis. Tapi kedua matanya tidak dapat membendung luapan sungai emosi yang selama ini dia tahan. Angkasa pergi dan kini dia sendiri di kafe itu mengenang kisah mereka. “This is for you dear” ucapnya lirih. Dia lalu meletakkan mawar putih yang dia bawa di sudut jendela itu. Dina pun beranjak pergi dan berjanji takkan kembali ke tempat itu.

Jendela Kaca Bundar

Mince sudah berada di tempat biasa dia memulai hari. Duduk manis di depan jendela dan menatap keluar. Pagi itu dia sudah mandi , sudah menyisir rambutnya , sudah melahap habis sarapannya , Mince mengingat-ingat semua ritual paginya dengan baik. Dan kini tinggal menghabiskan hari di depan jendela. Dia pandangi jalanan di luar jendela itu. Tampak orang-orang sibuk berlalu lalang. Jalanan depan rumah itu memang jalan yang sering dilewati orang. Mince mengamati matahari dan berusaha menebak rasa hangatnya. Pandangan Mince lalu menangkap seekor burung cemara yang terbang mengitari jendela itu dari luar. Mince menatapnya dan burung itu hanya berkicau riang seolah menertawakan Mince. Suara pedangang soto yang sedang menjajakan dagangannya mengalihkan tatapan Mince. Sudut matanya mengikuti si abang Soto berjalan mengunjungi rumah dan ruko yang ada di jalan itu. Mince ingin sekali berada di jalanan itu. Dia ingin merasakan sinar matahari, hiruk pikuk jalanan dan bernyanyi bersama burung itu. Tapi dia tidak bisa. Dia terkurung di ruangan ini. Mince lalu jatuh tertidur karena lelah berkhayal.

Ketika bangun, dia melihat jendela itu terbuka sedikit, akal Mince pun berjalan cepat. Dengan susah payah, dia masukkan tangannya ke celah tipis itu, ah hanya tangan saja yang bisa melewati celah itu. Lalu dia mengumpulkan tenaganya dan mendorong celah itu dengan kedua tangan serta kepalanya. Lama-lama celah itu semakin membesar, dan akhirnya terbuka lebar sehingga badan Mince bisa melewatinya. Mince pun melesatkan badannya keluar, melompat ke atas genteng sebelah. Dengan lincah dia menuruni pohon yang menempel dengan genteng dan akhirnya mendarat dengan mulus di aspal jalan. Sayup-sayup dia mendengar teriakan dari balik jendela “HEH Siapa yang buka jendelanya! Mince kabur! MINCE!!” suara Anita tuannya terdengar kecil dari jalanan ini. Mince hanya mengeluarkan suara erangan pelan , lalu berlari menelusuri jalanan dengan ke empat kakinya yang lincah.

Jendela Kaca Berbingkai Kayu Emas

Tassia bermain di halaman dengan boneka kesayangannya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke arah jendela kaca di samping rumah. Terlihat sosok ayahnya yang sedang duduk sambil mengetik dengan tampang serius. Tassia menatap ayahnya, dan ayah menyadarinya. Ayahnya memandang ke luar dan tersenyum kepada Tassia. Tassia lalu melambaikan tangannya dengan semangat sambil memanggil nama ayahnya. Sayang Ayah Tassia sudah kembali larut dalam pekerjaannya. Tassia pun hanya cemberut lalu bermain lagi. Keesokan harinya Tassia sudah mandi dan siap bermain di luar. Dilhatnya ayahnya masih sibuk dengan pekerjaan, Tassia lalu mengendap-endap di bawah jendela , dan tiba-tiba dia mengejutkan sang Ayah. Ayahnya kaget dan memarahi Tassia. Tassia berlari menangis menuju Ibu. Ibu Tassia lalu tersenyum dan memeluk Tassia erat, “sabar ya, Ayah sedang sibuk bekerja”. Sore keesokan hari, Tassia kembali mengintip Ayahnya dari luar jendela, kali ini dia tidak mengagetkan Ayahnya. Tassia hanya berdiri menatap sang Ayah dari luar dengan muka menempel di jendela. Ayah Tassia tidak menyadarinya, lama Tassia berdiri di situ sampai kakinya mulai terasa pegal. Ayahnya tetap tidak menoleh ke arahnya. Tassia pun kembali cemberut.

Hari ini, Tassia bermain lagi di halaman, kali ini dia tidak mau melirik ke jendela itu. Dia tahu ayahnya sedang sibuk bekerja, dia tidak ingin mengganggu ayahnya lagi. Tassia hanya ingin bermain dengan Ayah. Sudah lama mereka tidak bercanda bersama. Tassia sudah lupa rasa hangatnya pelukan Ayah. Ayah Tassia di ruangan itu bekerja dengan tekun. Dia merasa ada yang hilang hari itu. Ketika dia menolehkan pandangannya ke arah jendela, dia lihat boneka Tassia sudah bertengger manis di jendela, beserta sebuah kertas dengan tulisan anaknya yang sangat dia hafal.

“Tassia kangen Ayah”

SHMILY

SHMILY

Aku mungkin tak pernah mengerti dirimu

Mungkin tak pernah dapat tertawa di tiap leluconmu

SHMILY

Mungkin aku hanya bisa terdiam di pojok ruang setiap lampu sorot yang menyilaukan itu terarah padamu

Mungkin aku hanya bisa berada di belakangmu, berjalan pelan mengikutimu

Yang berlari cepat tanpa menoleh ke belakang

SHMILY

Mungkin kamu selalu bangga akan keikhlasanku

Kamu akan selalu teringat kemudahanku menerima negosiasimu

SHMILY

SHMILY

Hanya itu pesanku untukmu yang kini ingin pergi meninggalkanku

Akan kulepas dirimu dengan senyuman

Akan kudoakan dirimu mencapai impianmu

SHMILY

See How Much I Love You

Jangan Lupa

Jangan lupa

Ayunan kecil yang selalu berderik-derik ketika dinaiki

Tapi dapat mengantarkan wajah polos itu semakin mendekati langit

Jangan lupa

Raut ketakutan si anak baru, yang tak pernah mau melepas tangan ibunya

Di hari pertama mereka sekolah

Jangan lupa

Seluncuran plastik warna merah dengan muka gajah lucu

Yang selalu ramai dengan antrian malaikat-malaikat kecil itu

Jangan lupa

Pada kecupan manis dua malaikat

Di bawah pohon yang rindang dan membuat mukamu tersipu malu

Jangan lupa

Di sini awal semuanya

Tawa dan canda yang pernah ada di sini

Kenangan yang hanya akan bertahan sebentar

sebelum terisi dengan kenangan-kenangan yang lain

Pada setiap cinta monyet yang tercipta

Pada setiap tangis yang terurai

Di sini.. di taman bermain ini

Aku menjaga kenangan itu

Aku selalu ada di tengah kenangan itu

Jangan lupa padaku

*curhatan bangku taman di halaman sebuah TK*

Genggamlah Sebelum Menghilang

Entah sejak kapan, aku baru menyadari aku sedang duduk terdiam di tepian jalan ini. Duduk termangu dan sepertinya sudah dari tadi. Pandanganku kosong ke depan, aku sendiri tidak tahu apa yang kupikirkan. Yang kusadar adalah aku sendiri dan aku nyata di sini.

“Sedang apa di sini nduk?” sebuah suara yang begitu dalam menggugah lamunanku. Kutolehkan kepalaku dan menemukan sesosok bapak tua dengan pakaian sederhana berada di dekatku. Lama kutatap mukanya yang begitu menyejukkan. Dia membawa sebuah tas goni yang dia cangklongkan di bahu kanannya. Dia tersenyum ke arahku, dan kubalas dengan senyum kikukku.

“Ndak ada pak. Saya sendiri lupa kenapa berada di sini.” jawabku malu. Bapak itu lalu duduk di sebelahku, “Bapak temani ya. Bapak lelah sudah berjalan dari tadi.” ujarnya kemudian. Aku hanya menganggukkan kepala tak mengerti.

Lalu kami terdiam lama. Aku asyik dengan diriku sendiri, asyik mempertanyakan kenapa aku ada di situ. “Permasalahan yang berat itu terasa berat bila semakin dipikirkan nduk.” suara bapak itu kembali mengagetkanku. Aku hanya tertunduk kemudian menjawab “Semua permasalahan berat pak, memikirkannya adalah salah satu usaha untuk meringankannya.”

“permasalahan apa kalo bapak boleh tahu?”

“Permasalahan yang sendiri tidak tahu kenapa.”

“Ke mana teman-temanmu? Biasanya seorang gadis kan selalu bersama teman-temannya bila sedang ada masalah”

Aku terdiam , ya kenapa aku sendiri di sini? Ke mana teman-temanku? Apakah aku mempunyai teman-teman? Kugali pikiranku lebih dalam lagi. Ya aku punya teman, tapi ke mana mereka? Kenapa mereka tak berada di sini menemaniku?

“Saya gak tahu di mana teman-teman saya pak. Sepertinya mereka meninggalkan saya.”

“Teman atau sahabat tidak pernah meninggalkan nduk”. “Ah itu hanya teori pak, buktinya saya sendiri di sini. Teman-teman saya hilang. Mereka tidak berada di dekat saya ketika saya lagi gundah pak.” kata-kata itu lancar mengalir dari mulutku. Membuatku tersadar akan keadaan yang terjadi. Ya, aku sedang menyendiri karena teman-temanku pergi meninggalkanku.

“Bila mereka pergi dan tidak ada di sisimu, mungkin mereka bukan temanmu nduk. Seorang sahabat sejati pasti akan selalu berada di dekat kita, bahkan tidak kita sadari.”

“Berarti mereka bukan sahabat saya pak. Atau mungkin saya telah kehilangan sahabat-sahabat saya.”

“Seorang sahabat yang baik tidak pernah hilang, mungkin kita yang tidak menyadari keberadaan mereka. Atau sudahkah kamu tanya pada dirimu sendiri, apa yang membuat mereka menghilang darimu? Dan apakah kamu seorang sahabat yang baik buat mereka?” pertanyaan bapak itu membuatku terdiam.

Ya , apakah aku sudah menjadi seorang sahabat yang baik buat teman-temanku? Apa mungkin mereka menghilang dariku seperti aku menghilang dari mereka? Menjauh dari mereka ketika mereka sedang membutuhkanku?

“Saya tidak tahu apakah saya sahabat yang baik atau tidak pak. Saya hanya berusaha untuk mengerti teman-teman saya. Tapi apakah itu saja cukup pak?”

“Dunia persahabatan memang penuh lika liku. Sama seperti percintaan, butuh saling pengertian. Persahabatan juga butuh kerja sama dari dua belah pihak. Butuh pengertian dan pengorbanan. Jangan pernah meragukan kekuatan persahabatan nduk.”

“Apa yang harus saya lakukan pak? Saya merasa kehilangan teman, sahabat, tidak ada yang menemani saya di sini.”

“Sahabat itu salah satu mutiara kehidupan nduk. Genggamlah dia sebelum dia menghilang, jagalah dia sebelum dia terjatuh dari tanganmu. Sahabat yang baik, susah didapat, maka bila kamu sudah menemukannya, pupuklah persahabatan kalian. Jadikan dirimu sahabat yang baik untuk seseorang, sebelum kamu menuntut sebuah persahabatan.”

Aku terdiam meresapi kata-katanya. Kumengingat hal-hal yang pernah kulakukan pada teman-temanku. Ya, mungkin akulah yang menghilang dari sahabat-sahabatku. Mungkin aku bukanlah sahabat yang baik untuk mereka. Mungkin aku hanya memikirkan diriku saja, tidak pernah mereka.

Ah, apa yang aku lakukan di sini? Pergi menjauh dari masalah tidak akan membuat itu terselesaikan. Aku harus pergi dan menemukan sahabatku, merekalah yang mengerti aku. Aku lalu berdiri dengan penuh semangat, “Pak, aku harus…” aku terperangah ketika menengok ke sampingku, bapak itu telah pergi menghilang.

Lalu kesadaranku menarikku jauh dan seketika aku berada di cafe yang kukenal di tengah sahabat-sahabatku, yang sedang menatapku cemas.

Sahabatku lalu berkata, “Tuhkan sampai ngelamun, ceritalah sama kita, kamu kenapa?”

Keluarga 2.0

Aku dan adikku.

Serumah. Sebelahan kamar. Tapi tidak pernah bicara secara langsung.

Werza: Kak @utieed , kunci pintu belakang mana? Balas cepat!

Utieed: @werza kuncinya ada di laci deket kamar mandi. In reply to @werza

Werza: Oh udah ketemu. Pulang cepat kak! RT @utieed: @werza kuncinya ada di laci deket kamar mandi.

Werza: Lupa ambil laundry. Kak @utieed ambilin ntar ya. Ama nitip rokok juga.

Utieed: @werza iya. In reply to @werza

Utieed: Jalanan Jogja macet poll!

Werza: Lu di mana kak? Pulang bawain makanan dong RT @utieed: Jalanan Jogja macet poll!

Werza: Kakakku kasihan banget. Masih tidur tapi udah direcokin buat ngeprint. Love u sist @utieed !

Utieed: (favorite this tweet) (karena kapan lagi si adek bilang sayang) (walau cuma lewat twitter)

Aku dan Bapakku

Bapak: Bikinkan bapak twitter ya ti

Aku: Buat apa pak? Gak usahlah bikin twitter segala.

Bapak: Emang kenapa kalo bapak punya twitter. Kamu aja punya kok.

Aku: Tapi bapak itu lebay. Di facebook aja semua diupdate, semua dijadiin status.

Bapak: Kamu mau tahu kenapa bapak pengen punya twitter?

Aku: kenapa emangnya pak?

Bapak: Untuk tahu cerita tentang kamu dan adikmu. Kalian tidak pernah ngapdet di facebook lagi. Kalian hanya bercerita di twitter saja. Padahal bapak ingin tahu apa yang kalian lakukan sehari-hari. Kita kan jauh , kalian pun jarang menelpon bapak. Lewat mana lagi bapak tahu cerita tentang kalian? Kalo soal bapak sering update di facebook, itu adalah cara bapak bercerita kepada kalian. Kalian tidak pernah bertanya apa yang bapak lakukan, apa yang bapak pikirkan. Kalian terlalu jauh dan sudah tidak peduli pada bapak. Lewat facebook bapak berkomunikasi dengan kalian. Dan wajarlah kalo sekarang bapak ingin mendengar cerita kalian , bila itu hanya lewat twitter pun, bapak rela!

Aku: (terdiam) (lama)

Payung Merah Jambu

Hal terbaik dari hujan adalah pelangi yang mengikutinya.

Aku benci hujan. Yak, betul! Aku tidak pernah suka dan selalu mengutuk ketika hujan turun. Dan teman-temanku selalu mengatakan aku tidak romantis karena tidak menyukai hujan. Memangnya kalau romantis atau tidaknya seseorang dinilai dari perasaannya tentang hujan? Peraturan dari mana pula itu?

 

Bagiku hujan itu menyebalkan. Karena ketika si hujan turun dari langit dengan penuh semangat , maka itu adalah tanda dimulainya saat aku akan sendirian.

Sudah kewajibanku untuk selalu berada di sini di tepian jalan ini menjalankan tugasku. Tidak pernah seharipun aku mengeluh ketika bertugas. Yah , aku mengeluh hanya karena hujan.

Tapi itu dulu, sekarang aku mulai menyukai hujan. Setidak-tidaknya mulai menikmati saat hujan turun. Itu karena dia. Si Gadis berpayung merah jambu.

Jangan bilang kalau aku sudah menjadi orang yang romantis. Tidak ! Tapi dia , si gadis berpayung itu, berhasil membuat suatu moment yang menyenangkan ketika hujan turun.

Pertama bertemu dia , ketika hujan masih rintik-rintik di sore itu. Mungkin aku sudah pernah bertemu dengan dia sebelumnya, mungkin dia sering menemaniku di sini kemarin-kemarin, namun sore itu, hujan membuatku menyadari sosoknya yang indah.

Waktu hujan turun dan dia yang sedang berada di sebelahku, mengembangkan payungnya dan menyikut badanku dengan keras. Sebenarnya gak apa-apa sih, toh badanku sudah biasa disakiti oleh orang-orang di sekelilingku.

Tapi hanya dia yang langsung meminta maaf. “Duh maaf, maaf ya!” katanya sambil mengelus badanku. Terbiasa selalu sendiri dan diam, aku pun hanya bisa diam dan terpesona oleh sosoknya.

Dia tidak seperti mereka yang selalu lari ketika hujan turun, mungkin karena dia selalu membawa payung merah muda itu. Aku tidak bisa melihat mukanya dengan baik. Aku hanya bisa memperhatikannya.

Dia selalu bersenandung. Suaranya yang indah dan merdu membuatku ingin bersenandung bersamanya. Sayangnya aku lebih sering terdiam dan menikmati lagu-lagu dari mulutnya.

Dia memang hanya sebentar menemaniku. Ketika bus yang dia tunggu datang, dia segera menaikinya dan meninggalkanku sendiri lagi di sini.

Kadang aku berharap agar bus itu tidak pernah datang dan dia tetap bersamaku menikmati hujan. Ah..egoisnya aku. Aku tahu bahwa hujan itu juga tidak baik untuknya.

Sering dia bersin dan terbatuk pelan. Bisa kubayangkan cardigansnya yang tipis itu ternyata tidak bisa menghangatkan tubuhnya. Aku ingin memeluknya atau mengusir dingin di sekitar kami, agar dia tetap hangat. Pernah kucoba untuk bernegosiasi dengan hujan , agar udara yang dibawanya tidak terlalu dingin. Hujan hanya ketawa dan berlalu.

Bukannya aku tidak ingin menyapanya. Atau hanya sekedar tersenyum kepadanya. Aku tidak berani. Takut mengganggu dia yang sedang menikmati hujan.

Aku tahu lagu yang sering dinyanyikannya ketika hujan, berulangkali aku berusaha menghapalkan liriknya agar aku bisa ikut bersenandung. Tetap saja suara ini tercekat ketika dia sudah bernyanyi. Ah, suara yang indah di tengah hujan yang dingin ini, telah menghangatkan jiwaku.

Ketika hari cerah , aku bisa memandang wajahnya dengan baik. Senyumnya yang manis dan matanya yang selalu bersemangat. Bau parfumnya yang lembut , kuhirup pelan-pelan berusaha agar aromanya bisa tetap berada di anganku.

Aku ingin membantu dia membawa tas yang selalu disandangnya dengan berat. Kubayangkan buku-buku tebal yang berada di dalamnya. Atau mungkin netbook canggih yang berisi pikiran-pikiran jeniusnya. Andai aku bisa mengintipnya dan mengetahui apa saja yang dia bawa. Tapi kembali lagi, aku hanya bisa diam berdiri di sini menjalankan tugasku.

Seperti sore ini , hujan kembali turun menyapaku. Kusambut hujan dengan senyum mengembang , aku tahu ini adalah jam-jam si gadis akan datang menghampiriku.

Dan itu dia datang dengan payung merah jambu yang sudah terkembang. Dia berjalan pelan sambil bersenandung, melangkah pelan ke arahku.

Tasnya diletakkan di bawahku dan tubuhnya bersandar di badanku. Ah ingin kurengkuh dia, atau kuajak dia menikmati teh hangat. Entah ke mana hilangnya keberanian yang sudah kupersiapkan tadi.

Tiba-tiba ada seorang cowok yang berlari kecil ke arah kami. Cowok itu menutupi kepalanya dengan sebuah kertas , sepertinya dia baru di daerah ini. Baru kali ini aku melihatnya.

Mereka berdua saling memandang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku berharap cowok ini segera pergi meninggalkan kami.

“Barengan aja yuk payungnya.” gadisku menawarkan payungnya ke cowok itu. Cowok itu terlihat bingung dan “ Makasih ya, tidak apa-apa nih barengan?” tawarnya.

“Gak papa, nunggu bus jalur 10 toh? Aku juga. Cuma bus itu yang lewat di sini kalo udah sore-sore.” . si cowok itu tersenyum dan menerima tawaran gadisku. Aku hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hati. Tidak rela akan keadaan ini.

“Namaku Andi, kamu siapa?” Tanya cowok itu.

“Aku Vanka. Sepertinya kita satu kampus deh. Aku sering melihatmu di kantin.” . Oh, namanya Vanka. Setelah sekian lama dan aku baru tahu namanya hari ini. Oke aku berterima kasih dengan Si Andi ini.

Dan merekapun bercakap-cakap berdua di tengah hujan ini. Terdengar tawa gelak Vanka yang begitu renyah. Baru sore ini aku mendengarnya.

Karena si Andi ini, aku mengetahui banyak hal baru tentang Vanka. Seperti bahwa dia senang membuat kue , dia senang music Jazz , dia suka membaca buku Agatha Christie dan dia adalah anak kesayangan bapaknya.

Dan ternyata mereka mempunyai banyak persamaan. Aku terdiam mematung di sebelah mereka. Terpaksa mendengarkan percakapan yang sudah lama kubayangkan terjadi antara aku dan Vanka.

Harusnya aku bisa menjadi Andi. Berbicara dengan santai dengan Vanka. Hujan kembali deras seolah ingin mentertawakanku.

Bus jalur 10 yang mereka tunggu pun tidak datang jua. Setelah sejam menunggu , akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan pulang, berdua. Andi akan menemani Vanka pulang.

Dan aku hanya bisa memperhatikan mereka berjalan menjauh. Di bawah naungan payung merah jambu , sosok mereka berdua menghilang di persimpangan depan.

Aku ditinggal sendiri di sini. Hanya bersama hujan yang masih tetap mentertawakan kebodohanku. Kebodohanku yang tak pernah melakukan apapun selain mengagumi.

Andi itu seharusnya aku. Seharusnya aku yang berada di bawah payung merah jambu bersama Vanka.

Harusnya aku yang dapat membuat Vanka tersenyum dan tertawa di kala hujan. Bukan Andi.

Tapi aku sadar siapa diriku. Aku hanyalah sebuah tiang rambu lalu lintas. Tiang yang sering dijadikan tempat menunggu bus oleh orang-orang di sekitarku.

Takkan mungkin aku bisa menyapa Vanka. Takkan mungkin aku bisa memayunginya. Takkan mungkin aku bisa merangkuhnya di tengah dingin hujan. Aku sadar siapa diriku.

Tapi takkan pernah kusesali tugasku dan takkan pernah kusesali hujan. Karena tugasku dan hujanlah aku bisa bertemu Vanka. Vanka telah menghiasi semua hujanku.

Payung merah jambu itu mungkin tidak akan pernah kulihat lagi. Karena musim panas akan segera datang. Menggantikan hujan yang mungkin hanya akan datang sesekali saja.

Aku akan tetap di sini menjalankan tugasku. Sambil berharap akan kunjungan Vanka , walau tanpa payungnya. Walau takkan ada momen hujan bersamanya lagi.

Tuntutan Kami Para Pria

Hai.. Uhhh.. ini yang nulis bukan putri. Ini cowoknya putri.

Disuruh Putri buat nulis di tumblrnya dia tentang malam minggu. Jadi bingung nulis apa.

(dia lagi melototin saya di depan loh)

Jadi malam minggu bagi saya adalah waktu untuk ketemu pacar. Waktu untuk melepaskan lelah bersama PACAR TERSAYANG. Waktu untuk bermanja-manja ataupun dimanja-manja. Tapi ya kenapa malah tiap malam minggu kalo ketemu kok berantem terus.

Putri: maafkan itu bohong kami tidak berantem.

Tuh kan disuruh nulis di tumblrnya malah tetep aja dia yang mengkontrol semuanya.

Hai.. ini sudah saya lagi yang nulis. Putri sudah dibekap di ujung sana dengan perjanjian saya akan menulis sejujur-jujurnya tentang malam minggu. Sebagai balasannya dia tidak akan merecoki tulisan saya. (janji beb! Sumpah!)

Jadi bagi kami para pria, malam minggu itu sebenarnya ya cuma buat ngapel, buat ketemuan ama pacar. Harapannya sih disambut dengan senyuman, terus sedikit pelukan .. ya mungkin sedikit ciuman yang lalu eh maaf saya ngelantur. Pokoknya saat buat bermanja-manjalah. Setelah satu minggu kerja keras , ketemu pacar itu bener-bener bikin lega.

Eh tapi tidak gitu loh kenyataannya. INI SAYA TEKANKAN BUAT PARA PRIA DI LUAR SANA. Biasanya malam minggu yang kita kira bakal manis dan membahagiakan , itu tidak terjadi. Karena alasan seperti, kita telat (oke saya salahkan macet) , si pacar lagi kedatangan tamu yang bikin dia selalu sewot ama apapun yang kita katakan dan akhirnya malam minggu kita jadi merana. DI MANA LETAK ADILNYA? Semua bisa jadi salah, dari baju kita, pilihan tempat makan kita, atau bila kita DIKIRA melirik cewek yang cantik di meja sebelah, atau bahkan karena hal yang gak ada hubungannya seperti sepatu yang dia pakai menurut kita terlalu resmi buat acara malam minggu.

Dan bila kita terpaksa nurut untuk mengiyakan semua kata-kata si pacar, dia akan mengomel tentang kita yang sudah tidak sayang lagilah, ato kita tidak perhatianlah , ato kita tidak mendengarkan dia. Padahal di antara semua omelannya kita bisa menyimpulkan bahwa kita yang salah (diiyakan biar cepat selesai aja bro)

Ini suara kami para pria di seluruh dunia (minimal curhatan dari para temenku) kami hanya ingin malam minggu yang tenang, yang romantis, yang adem ayem, dan kami harapkan para pacar kami mau mengerti. Sehari saja dalam seminggu, kami lepas dari omelan kalian, dan sayangilah kami apa adanya.

Percayalah, senyuman manis kalian itu adalah obat stress kami dan bekal bagi kami untuk melewatkan satu minggu ke depan sampai saat bertemu senyuman manis itu lagi.

*tulisan ini dibuat sebagai hukuman karena telat di malam minggu berharga sang pacar*

3 Cerita Kecupan

Kecupan pertama

Di halaman belakang rumah Pak Amat

Saat sore hari di tengah bulan menjelang akhir tahun

Dengan sayup-sayup suara mama yang memanggilku pulang

Kamu yang memakai baju awut-awutan

dengan tangan yang masih menggenggam raket

Kamu panggil aku dan ketika ku menoleh, kau kecup cepat pipiku

Aku hanya terperangah kaget, tidak mengerti itu apa

Sesaat sebelumnya aku sedang menontonmu bermain bulu tangkis

Sesaat setelah itu kamu malah mengecup pipiku

Aku hanya bisa berlari pulang

dan berkata pada mama

“Aku gak mau ketemu Dewo lagi!”

Itu ketika kita berumur 7 tahun

Ciuman Kilat

Di acara musik sekolah

Malam hari sebelum band kita naik panggung

Sesaat setelah kita berdebat lagu apa yang akan kita bawakan pertama

Tiba-tiba saja kamu mendekat dan mencium kilat bibirku

Reaksiku masih sama, kaget dan tak tahu itu apa

Reaksimu juga masih sama, tersenyum dan kemudian segera berlalu

Yang kutahu aku tak dapat menceritakannya pada sahabatku

Karena dia adalah pacarmu

Ciuman (yang benar) Pertama

Sore hari di bawah pohon di dekat gedung GSP

Tidak ada suara mama, tidak ada raket, tidak ada keributan musik

Hanya ada aku dan kamu

Bergenggaman tangan

Reaksiku tidak terkejut lagi tapi tersenyum

Reaksimu masih sama tersenyum tapi tidak berlalu

Oya di malam sebelumnya, aku baru saja menyetujui pendapatmu

Bahwa mungkin memang tulang rusukmu yang selalu aku bawa ke mana-mana

« Older posts Newer posts »

© 2024 Utied Putri

Theme by Anders NorenUp ↑