Entah sejak kapan, aku baru menyadari aku sedang duduk terdiam di tepian jalan ini. Duduk termangu dan sepertinya sudah dari tadi. Pandanganku kosong ke depan, aku sendiri tidak tahu apa yang kupikirkan. Yang kusadar adalah aku sendiri dan aku nyata di sini.

“Sedang apa di sini nduk?” sebuah suara yang begitu dalam menggugah lamunanku. Kutolehkan kepalaku dan menemukan sesosok bapak tua dengan pakaian sederhana berada di dekatku. Lama kutatap mukanya yang begitu menyejukkan. Dia membawa sebuah tas goni yang dia cangklongkan di bahu kanannya. Dia tersenyum ke arahku, dan kubalas dengan senyum kikukku.

“Ndak ada pak. Saya sendiri lupa kenapa berada di sini.” jawabku malu. Bapak itu lalu duduk di sebelahku, “Bapak temani ya. Bapak lelah sudah berjalan dari tadi.” ujarnya kemudian. Aku hanya menganggukkan kepala tak mengerti.

Lalu kami terdiam lama. Aku asyik dengan diriku sendiri, asyik mempertanyakan kenapa aku ada di situ. “Permasalahan yang berat itu terasa berat bila semakin dipikirkan nduk.” suara bapak itu kembali mengagetkanku. Aku hanya tertunduk kemudian menjawab “Semua permasalahan berat pak, memikirkannya adalah salah satu usaha untuk meringankannya.”

“permasalahan apa kalo bapak boleh tahu?”

“Permasalahan yang sendiri tidak tahu kenapa.”

“Ke mana teman-temanmu? Biasanya seorang gadis kan selalu bersama teman-temannya bila sedang ada masalah”

Aku terdiam , ya kenapa aku sendiri di sini? Ke mana teman-temanku? Apakah aku mempunyai teman-teman? Kugali pikiranku lebih dalam lagi. Ya aku punya teman, tapi ke mana mereka? Kenapa mereka tak berada di sini menemaniku?

“Saya gak tahu di mana teman-teman saya pak. Sepertinya mereka meninggalkan saya.”

“Teman atau sahabat tidak pernah meninggalkan nduk”. “Ah itu hanya teori pak, buktinya saya sendiri di sini. Teman-teman saya hilang. Mereka tidak berada di dekat saya ketika saya lagi gundah pak.” kata-kata itu lancar mengalir dari mulutku. Membuatku tersadar akan keadaan yang terjadi. Ya, aku sedang menyendiri karena teman-temanku pergi meninggalkanku.

“Bila mereka pergi dan tidak ada di sisimu, mungkin mereka bukan temanmu nduk. Seorang sahabat sejati pasti akan selalu berada di dekat kita, bahkan tidak kita sadari.”

“Berarti mereka bukan sahabat saya pak. Atau mungkin saya telah kehilangan sahabat-sahabat saya.”

“Seorang sahabat yang baik tidak pernah hilang, mungkin kita yang tidak menyadari keberadaan mereka. Atau sudahkah kamu tanya pada dirimu sendiri, apa yang membuat mereka menghilang darimu? Dan apakah kamu seorang sahabat yang baik buat mereka?” pertanyaan bapak itu membuatku terdiam.

Ya , apakah aku sudah menjadi seorang sahabat yang baik buat teman-temanku? Apa mungkin mereka menghilang dariku seperti aku menghilang dari mereka? Menjauh dari mereka ketika mereka sedang membutuhkanku?

“Saya tidak tahu apakah saya sahabat yang baik atau tidak pak. Saya hanya berusaha untuk mengerti teman-teman saya. Tapi apakah itu saja cukup pak?”

“Dunia persahabatan memang penuh lika liku. Sama seperti percintaan, butuh saling pengertian. Persahabatan juga butuh kerja sama dari dua belah pihak. Butuh pengertian dan pengorbanan. Jangan pernah meragukan kekuatan persahabatan nduk.”

“Apa yang harus saya lakukan pak? Saya merasa kehilangan teman, sahabat, tidak ada yang menemani saya di sini.”

“Sahabat itu salah satu mutiara kehidupan nduk. Genggamlah dia sebelum dia menghilang, jagalah dia sebelum dia terjatuh dari tanganmu. Sahabat yang baik, susah didapat, maka bila kamu sudah menemukannya, pupuklah persahabatan kalian. Jadikan dirimu sahabat yang baik untuk seseorang, sebelum kamu menuntut sebuah persahabatan.”

Aku terdiam meresapi kata-katanya. Kumengingat hal-hal yang pernah kulakukan pada teman-temanku. Ya, mungkin akulah yang menghilang dari sahabat-sahabatku. Mungkin aku bukanlah sahabat yang baik untuk mereka. Mungkin aku hanya memikirkan diriku saja, tidak pernah mereka.

Ah, apa yang aku lakukan di sini? Pergi menjauh dari masalah tidak akan membuat itu terselesaikan. Aku harus pergi dan menemukan sahabatku, merekalah yang mengerti aku. Aku lalu berdiri dengan penuh semangat, “Pak, aku harus…” aku terperangah ketika menengok ke sampingku, bapak itu telah pergi menghilang.

Lalu kesadaranku menarikku jauh dan seketika aku berada di cafe yang kukenal di tengah sahabat-sahabatku, yang sedang menatapku cemas.

Sahabatku lalu berkata, “Tuhkan sampai ngelamun, ceritalah sama kita, kamu kenapa?”