Apa hubungannya talenan, Roro Jonggrang dan pohon sawit? Memang tidak ada hubungannya. Namun dalam 30 hari, aku belajar sesuatu dari talenan, Roro Jonggrang dan pohon sawit. Mengenal sebuah sisi lain yang ada di Jogja yang selama ini mungkin hanya kalangan tertentu yang mengetahuinya. Ceritanya sangat sederhana dan aku berusaha untuk menceritakannya dengan sederhana pula.

Cerita Roro Jongrang

Pada suatu malam, aku diajakin Dandy Cahyo untuk mengunjungi Abhayagiri Restaurant untuk melihat pertunjukan Sendratari Jonggrang. Aku sangat bersemangat karena sendratari Jonggrang adalah visualisasi dalam bentuk tarian mengenai kisah Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Maka berbekal semangat inilah, aku dan Dandy menembus hujan deras malam itu menuju kawasan Sumberwatu di wilayah Prambanan.

Namun, hujan yang tak kunjung reda membuat pertunjukan yang seharusnya berada di area luar restauran dipindah ke area dalam restauran. Padahal sendratari Jonggrang seharusnya akan menampilkan lighting yang keren(aku sendiri masih penasaran dengan hal ini). Namun tak apa, apabila pertunjukan ini dilaksanakan di area luar, maka cerita ini akan memiliki ending yang berbeda. Karena di sinilah keindahan itu terjadi.

Roro Jongrang yang cantik (via Dandy)

Tentu saja kita semua sudah mengenal kisah Roro Jongrang, seorang putri yang dikutuk menjadi arca oleh Bandung Bondowoso yang sebenarnya mencintainya namun terluka hatinya karena gagal mendapatkan sang putri. Pertunjukan tari ini memang lebih detail dalam menceritakan kisah rakyat ini terutama mengenai sumur Jala Tunda, sumur yang dibuat Bandung Bondowoso sebagai salah satu syarat yang diajukan Roro Jonggrang.

Di mana sisi menarik cerita ini? Karena aku menyaksikan dari dekat(bukan dari kursi penonton tapi langsung merangsek ke depan area pertunjukan), aku bisa mengamati secara seksama seluruh pertunjukan dan akhirnya merasakan keindahan tarian tersebut. Bagaimana mimik muka seorang penari yang sangat mengkhayati tariannya, bagaimana suara-suara yang dibuat oleh para penari untuk memunculkan efek dramatis tarian tersebut dan kekompakan dayang-dayang yang selalu mengikuti sang putri, keindahan seluruh pertunjukan tari yang selama ini hanya bisa kunikmati dari jauh.

Ekspresi Bandung Bondowoso setelah kejadian Sumur Jala Tunda (via Dandy)

Aku terpesona pada mimik muka sang putri ketika dia marah pada Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya dan bagaimana dia menampilkan muka manis agar Bandung Bondowoso tidak marah padanya dan memaafkannya. Bagaimana lirik tajam Bandung Bondowoso yang terluka atas perbuatan Roro Jonggrang yang ternyata membuat bunyi-bunyian agar ayam jantan terbangun dan berkokok sehingga menakut-nakuti pasukan Jin.

Aku sempat terdiam terpesona setelah pertunjukan usai. Aku tidak tahu bagaimana harus berekspresi untuk mengapresiasi pertunjukan seni yang baru saja aku saksikan. Sebuah karya yang sangat indah, dan aku di sana tidak tahu harus berbuat apa selain menyimpan semua momen tersebut dengan baik di ingatan.

Cerita Talenan

Pertemuanku yang kedua dengan karya seni adalah di Kedai C.O.D, sebuah kedai kecil yang memiliki menu andalan martabak manis. Kedai ini terletak di Jalan Bantul no 93, Dongkelan. Cukup jauh dari daerah mainku sih, tapi malam itu dengan iming-iming martabak yang istimewa dan ingin melihat Telenan Art Project, maka semua kemalesanku berjalan ke selatan pun terpaksa mengalah.

Untuk review makanan nantinya akan ada post di blog laper, di sini aku akan bercerita mengenai Telenan Art Project, sebuah proyek seni dari seniman-seniman di Jogja yang berkarya pada kanvas talenan. Unik sekali bukan! Di sini aku kembali mengalami ketakjuban yang sama pada artwork-artwork yang ada di sana. Sampai sempat lupa pada makanan, ini jarang terjadi!

Wall of Telenan

Wall of Telenan

Berbagai cara seniman Jogja yang terlibat dalam Telenan Art Project ini menciptakan artwork dengan kanvas sebuah talenan ini memang sangat kreatif. Ada sebuah pojokan kedai di mana aku sempat menikmati semua karya-karya itu dengan lebih dalam lagi dan menghayati maksud mereka.

Pojok di Kedai C.O.D

Pojok di Kedai C.O.D

Sebuah malam yang menyenangkan waktu itu di mana kita menikmati makanan yang enak sambil menikmati artwork yang ada. Aku menyukai karya dari @Agnisaraswati yang simple namun diisi dengan warna-warna cerah. Ada yang menuliskan quote, lukisan dan sketsa kreatif. Di malam itu aku kembali mencoba mengapresiasi seni yang ada dengan cara tersendiri.

Cerita Pohon Sawit

Aku menceritakan dua kejadian di atas pada Mas Wok The Rock, dan dia mengajakku untuk mengunjungi sebuah pameran tunggal di Ark Galerie. Di sana dia bilang aku bisa berdiskusi dengan senimannya langsung. Menurut Mas Wok, diskusi ini sudah jarang terjadi di pameran-pameran seni. Maka aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sore itu aku pun mengunjung pameran tunggal Setu Legi yang berjudul ‘Tanah Air’.

‘Tanah Air’ adalah sebuah pameran dari Setu Legi yang menyoroti tentang isu-isu lingkungan. Bagaimana alam Indonesia dirambah oleh perusahaan-perusahaan besar untuk menghasilkan produk-produk mereka di mana ini merusak lingkungan. Ketika memasuki area Ark Galerie, kita akan menemukan ‘Harapan Jaya’, sekumpulan patung terakota orang-orangan yang sedang berjongkok sambil menggenggam tanah. Lalu di dalam kita melihat di sebuah dinding sebuah lukisan kota dengan berbagai produk seperti susu, cemilan, dan produk olahan lainnya yang ditempelkan di dinding seolah memperlihatkan bagaimana kota tersebut membutuhkan produk-produk itu. Di sisi lain ada sebuah instalasi berjudul ‘Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri’ yang berupa lukisan tentang alam Indonesia dengan pohon pohon yang melayang. Namun yang paling aku sukai adalah instalasi audio yang berupa pipa-pipa berkelok-kelok yang memperdengarkan bunyi-bunyi berupa suka cita bersawah dari petani lalu berganti dengan bunyi-bunyi traktor dan suara industri lainnya.

Harapan Jaya yang menyambut kita di Ark Galerie

Harapan Jaya yang menyambut kita di Ark Galerie

'Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri'

‘Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri’

Sebagai orang yang berasal dari daerah penuh kekayaan alam namun diolah oleh perusahaan luar dan kehidupanku diuntungkan karenanya, aku ingin berdiskusi dengan sang seniman, sudut pandangku sendiri dan ceritaku dari daerah tersebut. Dan ternyata Mas Setu Legi sangat tertarik mendengar cerita kami, dia ingin sekali mengadakan pameran di daerah-daerah tersebut dan melihat reaksi mereka. Aku sendiri sangat menyukai diskusi langsung dengan seniman di pamerannya langsung sebagai prosesku mengapresiasi seninya. Dan ternyata inilah perjalananku dalam menikmati pameran-pameran seni di Jogja.

Intinya..

Jogja adalah kota seni, ada banyak seniman di sini dan banyaaak acara seni yang sering diadakan di Jogja, namun terkadang pameran-pameran kecil kalah sorotan dengan festival-festival seni besar. Dalam 2 bulan terakhir, aku sudah mengunjungi 5 art exhibition dan 3 di antaranya sepi pengunjung. Yang terakhir malah senimannya tidak berada di pamerannya dan kurang instruksi dan penjelasan mengenai karya yang ada. Mungkin karena sudah pesimis duluan atau memang tujuannya hanya ingin mempresentasikan karyanya tanpa ekspetasi lebih terhadap pengunjung. Ada yang salah di sini. Apakah memang ada jarak antara penikmat seni dan seniman, apakah kurangnya informasi tentang exhibition tersebut atau apakah kurangnya ajakan yang lebih intensif kepada khalayak yang lebih luas? Pertanyaan-pertanyaan yang aku sendiri belum tahu jawabannya. Kalian bisa membantu menjawabnya lewat kolom komentar di bawah ini.

 

*foto sendratari Jonggrang berasal dari post blog Dandy Cahyo yang ini, akibat terlalu terpesona pada pertunjukan tersebut dan tidak sempat mengabadikannya sendiri