Yang namanya perubahan, tidak semua orang bisa menerimanya dengan baik. Ada yang menolak, ada yang bisa beradaptasi dengan cepat dan ada yang malah belum tersadar dengan perubahan yang telah terjadi di sekitarnya.

Sementara bagi diriku sendiri, dalam beberapa hari ini, ada 2 perubahan yang baru saja disadari dan ternyata pembelajaran untuk menerima perubahan itu sangatlah susah, banget!


First, perubahan yang besar di kotaku tercinta, Pekanbaru. Emang sih mudik itu cuma sekali setahun dan tiap tahun juga sebenarnya Pekanbaru memang sudah mulai berubah tapi perubahan kali ini yang agak ‘Wow’ dan it really changes everything. Dari datang udah disambut dengan perubahan bandara, lalu fly over yang tiba-tiba muncul 2 buah di tengah kota, jembatan Siak jadi ada 2, dan yang paling penting adalah MACET!
Pekanbaru tidak pernah semacet itu, tidak pernah! Dan melihat keruwetan lalu lintas pekanbaru serta ketidak-mau-mengalahnya orang Pekanbaru yang lebih keras dibandingkan di Jogja, membuat setiap perjalanan udah bikin ngurut-ngurut dada sendiri.
Tapi yang benar-benar mengubah hati dan pikiran adalah perubahan di lingkungan dekatku, maksudnya di sini adalah aku baru menyadari perubahan-perubahan yang dialami oleh Datuk dan Nenekku tercinta. Di mana ternyata mereka…. bertambah tua. Mereka terlihat rapuh. Dan aku(awalnya) tidak siap menerima kenyataan ini.
Di mataku(sebelum mudik ini) dan mungkin ingatanku, nenek dan datukku adalah orang-orang yang kuat. Orang-orang yang masih paling muda di antara teman-teman seangkatan mereka. Nenekku tahun lalu masih kuat membuat kue-kue lebaran, Datukku masih kuat menjalankan perusahaan kecilnya dan ikutan turnamen Bridge. Mereka masih kuat mengikuti kegiatan anak dan cucunya, terakhir malah ikutan liburan ke Jogja.
Baru nyampe di pekanbaru dan mendapat kabar kalo mereka berdua sakit dan datuk harus dirawat di rumah sakit, di situlah baru terasa penuaan yang mereka alami. Ketika harus membasuhkan air wudhu di muka datuk, dan ketika memegang tangannya di kala dia terbatu-batuk, aku baru menyadari kalo Datukku sekarang ini sangatlah rapuh.
Datukku adalah seorang yang tegas, sempat menjadi ‘Datuk’ di kampungnya, panutan ponakan-ponakannya (yang orang Minang mesti ngerti ini), badannya memang kecil tapi dia masih kuat bekerja di umurnya yang senja ini karena dia tidak betah duduk berdiam diri di rumah.

Tapi dengan keadaannya yang sekarang, matanya yang sayu, rambutnya yang menipis, kulitnya yang begitu keriput walo halus seperti kulit bayi, dia terlihat sangat lemah dan itu berbeda dengan dia yang dulu. Setiap dia terbatuk keras atau menahan sakit atas setiap obat yang masuk ke tubuhnya, aku hanya bisa berteriak dalam hati ‘This is NOT YOU! This is not my grandpa!’ dan aku berharap tubuhku berada di luar dari masa ini sehingga tidak harus mengalami ini semua.

Dalam 3 hari ini, mengalami kemacetan dan senggol-bacok Pekanbaru dalam perjalanan menuju rumah sakit, terus di rumah sakit melihat pemandangan yang menyakitkan itu, membuat aku yang dengan egoisnya malah jadi pusing dan tertekan.
Mungkin bisa dibilang tidak bisa menerima dengan baik semua perubahan itu, sampai tadi malam, di mana akhirnya diriku mulai sedikit tercerahkan.
Di pekanbaru, setiap bulan Ramadhan ada festival Lampu Colok yang kini mulai jarang diadakan karena kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Dan hari ini di sebuah warung kecil di dekat rumah sakit, terdapatlah 2 lampu colok yang dinyalakan pemilik warung sebagai usaha untuk mempertahankan tradisi itu.
Dan ketika terjebak macet di depan rumah sakit, mataku menangkap 2 lampu colok itu. Mataku kemudian terhipnotis oleh sinarnya. Nyala lampu colok itu berpendar temaram tapi menentramkan hati. Lalu entah kenapa di tengah lamunan itu, pikiran jadi sedikit tercerahkan.
Kemudian ketika tiba di rumah sakit, ada teman seangkatan si Datuk lagi berkunjung dan mereka, kakek-kakek -yang satu terbaring di kasur, yang satu berjuang untuk bisa berdiri agar bisa mengobrol dengan sahabatnya- tersebut saling bertukar cerita tentang sakit mereka, tentang anak-anak mereka walaupun dengan suara-suara yang tidak jelas, terbata-bata karena nafas mereka yang pendek sehingga sulit dimengerti oleh kami yang mendengarkan, tapi mereka berdua bisa saling memahami. Seketika itu aku melihat mereka seperti 2 lampu colok tadi. Terasa oleh diriku ada semangat yang bersinar di antara mereka bagai sinar lampu colok.

Berpendar tidak menyilaukan tapi mereka tetap menyalakan sinar sampai batas akhir kemampuan mereka, mereka tidak menyerah. Dan aku pun akhirnya mulai memahami.
Bahwa ada perubahan yang memang tidak dapat ditolak dan memang harus terjadi dan sangat salah bila kita terus membohongi diri sendiri berusaha menolak perubahan itu. Kotaku Pekanbaru memang bertambah maju tapi setidaknya ada hal-hal yang tidak pernah berubah. Dan hal-hal yang menghilang tidak selamanya hilang dan terlupakan. Karena ingatan dan kenangan adalah bagian dari usaha kita untuk menghadapi perubahan. Begitu juga dengan kenangan dan ingatanku akan Datukku di usia mudanya dulu. Datukku tetaplah datuk yang kuat, dan dia masih kuat untuk memerangi penyakitnya. Dia masih mempunyai semangat itu, bukan hilang tapi hanya tak disadari olehku.
Perubahan itu terjadi di kehidupan tiap orang, yang berbeda adalah bagaimana cara mereka menghadapinya dan bagaimana cara mereka menggunakan tiap perubahan sebagai langkah di kehidupan mereka.