“Whenever sang my songs

On the stage, on my own

Whenever said my words

Wishing they would be heard”

“Hadirin sekalian, mari kita sambut Randika Putra!” MC menyebut nama itu dengan lantang, seorang pemuda dengan sosok tegap menaiki podium dengan senyuman manis dan tatapan percaya diri. Penonton menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah.

“Selamat malam semua. Terima kasih, terima kasih. Malam ini saya akan menjelaskan mengenai program Earth Hour For Better Future kepada anda semua, ya doakan saja presentasi saya berjalan singkat sehingga kita bisa pulang dengan cepat.” Randika Putra memberikan kata sambutan dengan candaan, disambut dengan tawa serempak dari para penonton.

Sementara di sudut pojok aula itu, seorang gadis sedang duduk sambil membaca agendanya. Ketika Randi memulai presentasinya, Nana -nama gadis itu- pun menengadahkan kepalanya. Dia memperhatikan Randi sambil sesekali tersenyum. Randi dan Nana sudah bersahabat sejak lama. Pertemuan mereka dimulai ketika mereka bergabung di sebuah komunitas pencinta alam. Randi adalah salah seorang aktivis pencinta alam yang kini mulai dikenal orang atas kepeduliannya pada lingkungan. Dan Nana juga berkecimpung di lingkungan yang sama, tapi dengan ketertarikan yang berbeda dengan Randi.

Nana mengerti betul pesona yang dimiliki seorang Randi. Randi adalah aktivis lingkungan dengan karismatik yang kuat. Dia memiliki kemampuan yang bisa mempengaruhi orang banyak agar mau menyayangi lingkungannya. Randi yang bersahaja, Randi yang ramah, Randi yang baik, Nana sudah khatam akan itu semua. Sedangkan Nana hanyalah seorang anggota biasa saja dalam komunitas itu, walaupun bagi Randi dia adalah seorang pendengar yang baik. Dia dapat mendengarkan dengan sabar semua rencana-rencana, petualangan-petualangan, dan mimpi-mimpi Randi.

“Jadi, dengan program ini kita dapat menghemat pemakaian listrik di daerah kita sebanyak 20% dari biasanya…” Randi masih berada di podium melanjutkan presentasinya. Matanya berkeliling memandang ke seluruh orang di depannya dengan dihiasi senyuman. Nana berharap senyuman itu untuknya, tapi Nana tahu itu adalah senyuman biasa saja.

“I saw you smiling at me..
Was it real or just my fantasy”

“Kamu harus ikut diskusi besok.” kata Randi sore itu ketika mereka lagi menikmati sore di halaman rumah Nana. Nana menatapnya bingung, “Loh, kan yang jadi diundang jadi narasumber itu kamu, kenapa aku harus ikutan juga?” tanyanya kemudian.

“Aku baru sekali ini diundang mereka, aku butuh muka yang kukenal untuk menenangkanku” rayu Randi dengan mata memelas. Nana langsung cemberut, “Jadi aku hanya sekedar ‘muka yang dikenal’ ya? Nih bawa saja fotoku, letakin di mimbar” Nana membuka dompetnya dan memberikan foto dirinya.

Randi meraih dan memandang foto itu, “Kalo cuma foto aja gak ngefek lah Na. Aku harus disenyumin , diteriakin, disemangatin, foto gak bisa bergaya cheerleader Na.”

Nana diam sejenak dan akhirnya berkata “Iya, iya, gak usah kamu suruh, aku juga datang kok, aku kan diundang juga ama mereka.”

Randi tersenyum “Makasih ya.” ujarnya sambil memasukkan foto Nana ke dalam tas. Nana memandang heran akan tingkah laku Randi tapi tidak protes, Randi yang aneh, pikirnya.

“Apakah ada yang mau bertanya mengenai program ini?” Randi membuka sesi tanya jawab.

Nana mulai bersiap mencatat di agenda andalannya sambil tetap memperhatikan Randi. Randi berpesan untuk menulis data siapa-siapa saja yang bertanya, sebagai masukan untuk program ini.

Harusnya pekerjaan seperti ini adalah tugas sekretaris atau pacarnya, bukan aku, Nana ngomel-ngomel dalam hati. Kayak-kayak gini kok larinya ke aku, makanya jangan LDR, masih saja Nana mengomel dalam hati.

Randi sebenarnya punya pacar, sayangnya sang pacar berada di kota yang nun jauh sana. Keberadaan si pacar memang jarang diakui karena Angel si pacar, adalah seorang model yang baru merintis karirnya. Randi baru saja memulai hubungan itu ketika dia berkenalan dengan Nana. Nana sebenarnya ingin berteman baik dengan Angel, tapi sayang Angel terlalu dingin untuk diajak berteman. Angel hanya mau memandang dan menanggapi Randi, tapi tidak pernah mau mengenal Nana.

Pernah di suatu sore Randi mengeluh padanya, “Aku sudah capek untuk mengikuti mau Angel. Dia menuntutku untuk segera pindah ke Jakarta menyusulnya. Dia bilang di Jakarta lebih banyak peluang masa depan daripada di sini. Dia gak ngerti apa, kalo di sini juga banyak peluang yang lebih cocok untukku? Dan sebenarnya masa depan apa sih yang dia inginkan dariku?”

“Maksud dia kan baik, Ndi. Dia pengen agar kamu lebih maju lagi dari yang sekarang. Kamu bisa lebih dari yang sekarang ini. Tapi kamu sebenarnya gak mau, karena saran itu berasal dari dia kan? Kamu gak mau disuruh-suruhkan? Egomu yang berbicara bukan logikamu.” seperti biasa Nana mengeluarkan jurus mautnya. Randi tertunduk, kalau sudah tahu salah aja baru diam, omel Nana dalam hati.

“Aku merasa Jakarta bukan buat aku. Aku merasa di sinilah aku harusnya berada. Kalau semua orang pergi ke sana, bagaimana dengan hal-hal yang dapat kita lakukan di sini?” pembelaan Randi.

“Kalo itu aku gak bisa mendebatnya, rezeki itu ada di mana aja kok. Karena menurutku , The place where I wanna be is the place where I belong , a place that I can call mine. Percuma aja kalo kita gak ada hati untuk berusaha di tempat yang kita gak sreg” kata Nana.

Randi memandangnya dan tersenyum. “Sebuah quote kalo kamu yang ngomong kok jadinya bagus banget ya?”.

Muka Nana bersemu merah. “Udah ah, gimana soal pembicara di acara diskusi SMA 5 besok? Aku belum lihat persiapanmu.” Nana berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Harusnya kita lebih sering kerja bareng Na. Aku yang bagian santai-santainya, kamu otaknya kebagian yang susah-susah. Terus juga bagian pendengar setia.”

“Kan biasanya emang begitu? Aku yang kebagian pusingnya, sibuknya, plus nontonin kamu. Tidak dibayar pula”

“Kubayar pake hati aja deh. Tapi kutebus dulu dari pegadaian depan ya.” jawab Randi. Mereka pun tertawa bersama. Dan akhirnya menutup pertemuan malam itu dengan nongkrong di angkringan langganan mereka.

“Oke, terima kasih buat pertanyaannya. Saya jawab satu-satu ya.” Randi kembali melemparkan senyuman buat penontonnya. Nana masih berharap senyuman itu buat dia.

Ada 2 hal yang tidak diketahui oleh Randi. Pertama, Nana sebenarnya menyimpan perasaan buat Randi, yang kedua adalah Nana memutuskan untuk tidak melanjutkan perasaan itu untuk menghormati permintaan Angel.

Angel menghubungi Nana beberapa minggu lalu. Ketika itu Randi lagi berada di Jakarta. Angel ternyata sedang bersama Randi dan dia berhasil membongkar pesan-pesan Randi dan merasa terganggu dengan kedekatan mereka.

“Jadi, saya mohon ya Nana. Kamu jangan terlalu dekat dengan dia. Randi bilang kalian memang cuma berteman, tapi saya tidak suka dengan pertemanan kalian. Randi tidak perlu tahu mengenai pembicaraan kita ini, aku tidak ingin dia menilaiku jelek. Tapi aku bisa memintamu tolong padamu kan, bukan soal kerahasiaan saja tapi juga mengabulkan keinginanku. Kamu masih boleh berteman dengannya. Hanya jangan terlalu dekat kalo bisa menjauhlah darinya. Aku tidak bisa berada di sisi Randi sebanyak kamu berada bersamanya. Aku tidak ingin dia jadi berpaling padamu. Aku harap kamu mengerti.” permohonan Angel lewat sebuah email untuk Nana.

Setelah berpikir lama, Nana memilih untuk menyalahkan dirinya dan mundur dari hubungan antara Randi dan Angel. Nana memahami bahwa Randi selama ini hanya butuh dia sebagai pendengar,tidak lebih dari itu. Perasaan Nana tidaklah penting apabila hanya mengganggu hubungan Randi dan Angel. Oleh karena itulah dia memilih untuk menerima tawaran kerja di Bandung tanpa memberitahu Randi. Malam ini adalah malam terakhir dia menemani Randi. Tapi Randi tidak perlu tahu itu. Biarlah ini menjadi kejutan untuknya, tegas Nana pada dirinya sendiri. Nana kemudian tersenyum manis ke arah sosok yang selama ini sebenarnya dia kagumi itu.

“You’d always be there in the corner…Of this tiny little bar”

“Sekian penjelasan saya, mari bersama kita sukseskan program Earth Hour minggu depan. Bersama kita bisa! Terima Kasih!” Randi pun menutup presentasinya. Sambil membereskan berkasnya, dia memandang ke arah pojok ruangan itu. Nana masih di sana, dia tersenyum lega. Di sudut hatinya, Randi merasa semua kegiatannya berjalan lancar bila ada Nana di dekatnya. Dengan Nana yang menatapnya, tersenyum padanya, semua kecemasan dan keraguannya menguap begitu saja. Namun Randi juga mulai menyadari, keberadaan Nana tidak hanya sebagai ‘muka yang dikenal’ saja. Dengan Nana di sisinya, semua petualangan biasa berubah menjadi istimewa. Dia pun kini mengerti, ternyata perasaannya pada Nana telah berubah dari sekedar teman biasa. Sayangnya pemahaman itu baru dia muncul akhir-akhir ini.

“So let me come to you.. Close as I wanted to be

Close enough for me..To feel your heart beating fast

And stay there as I whisper. How I loved your peaceful eyes on me

Did you ever know.. That I had mine on you”

Malam ini Randi ingin menyatakan perasaannya pada Nana. Dia tak ingin menyimpan ini lama-lama. Dia sudah memutuskan hubungannya dengan Angel kemarin, walau Angel tak sepenuhnya setuju dan masih meminta penjelasan darinya. Demi kewarasan hati maka Randi memutuskan dia tak ingin Nana keburu menjauh darinya.

Turun dari panggung, Randi berjalan dengan wajah tersenyum ke arah Nana. Nana pun menyambutnya dengan senyuman khasnya yang selalu menenangkan hati Randi.

“Ada yang ingin kusampaikan padamu Nana, sekarang.”

Inspired from a song : Faye Wong – Eyes on me