Hal terbaik dari hujan adalah pelangi yang mengikutinya.

Aku benci hujan. Yak, betul! Aku tidak pernah suka dan selalu mengutuk ketika hujan turun. Dan teman-temanku selalu mengatakan aku tidak romantis karena tidak menyukai hujan. Memangnya kalau romantis atau tidaknya seseorang dinilai dari perasaannya tentang hujan? Peraturan dari mana pula itu?

 

Bagiku hujan itu menyebalkan. Karena ketika si hujan turun dari langit dengan penuh semangat , maka itu adalah tanda dimulainya saat aku akan sendirian.

Sudah kewajibanku untuk selalu berada di sini di tepian jalan ini menjalankan tugasku. Tidak pernah seharipun aku mengeluh ketika bertugas. Yah , aku mengeluh hanya karena hujan.

Tapi itu dulu, sekarang aku mulai menyukai hujan. Setidak-tidaknya mulai menikmati saat hujan turun. Itu karena dia. Si Gadis berpayung merah jambu.

Jangan bilang kalau aku sudah menjadi orang yang romantis. Tidak ! Tapi dia , si gadis berpayung itu, berhasil membuat suatu moment yang menyenangkan ketika hujan turun.

Pertama bertemu dia , ketika hujan masih rintik-rintik di sore itu. Mungkin aku sudah pernah bertemu dengan dia sebelumnya, mungkin dia sering menemaniku di sini kemarin-kemarin, namun sore itu, hujan membuatku menyadari sosoknya yang indah.

Waktu hujan turun dan dia yang sedang berada di sebelahku, mengembangkan payungnya dan menyikut badanku dengan keras. Sebenarnya gak apa-apa sih, toh badanku sudah biasa disakiti oleh orang-orang di sekelilingku.

Tapi hanya dia yang langsung meminta maaf. “Duh maaf, maaf ya!” katanya sambil mengelus badanku. Terbiasa selalu sendiri dan diam, aku pun hanya bisa diam dan terpesona oleh sosoknya.

Dia tidak seperti mereka yang selalu lari ketika hujan turun, mungkin karena dia selalu membawa payung merah muda itu. Aku tidak bisa melihat mukanya dengan baik. Aku hanya bisa memperhatikannya.

Dia selalu bersenandung. Suaranya yang indah dan merdu membuatku ingin bersenandung bersamanya. Sayangnya aku lebih sering terdiam dan menikmati lagu-lagu dari mulutnya.

Dia memang hanya sebentar menemaniku. Ketika bus yang dia tunggu datang, dia segera menaikinya dan meninggalkanku sendiri lagi di sini.

Kadang aku berharap agar bus itu tidak pernah datang dan dia tetap bersamaku menikmati hujan. Ah..egoisnya aku. Aku tahu bahwa hujan itu juga tidak baik untuknya.

Sering dia bersin dan terbatuk pelan. Bisa kubayangkan cardigansnya yang tipis itu ternyata tidak bisa menghangatkan tubuhnya. Aku ingin memeluknya atau mengusir dingin di sekitar kami, agar dia tetap hangat. Pernah kucoba untuk bernegosiasi dengan hujan , agar udara yang dibawanya tidak terlalu dingin. Hujan hanya ketawa dan berlalu.

Bukannya aku tidak ingin menyapanya. Atau hanya sekedar tersenyum kepadanya. Aku tidak berani. Takut mengganggu dia yang sedang menikmati hujan.

Aku tahu lagu yang sering dinyanyikannya ketika hujan, berulangkali aku berusaha menghapalkan liriknya agar aku bisa ikut bersenandung. Tetap saja suara ini tercekat ketika dia sudah bernyanyi. Ah, suara yang indah di tengah hujan yang dingin ini, telah menghangatkan jiwaku.

Ketika hari cerah , aku bisa memandang wajahnya dengan baik. Senyumnya yang manis dan matanya yang selalu bersemangat. Bau parfumnya yang lembut , kuhirup pelan-pelan berusaha agar aromanya bisa tetap berada di anganku.

Aku ingin membantu dia membawa tas yang selalu disandangnya dengan berat. Kubayangkan buku-buku tebal yang berada di dalamnya. Atau mungkin netbook canggih yang berisi pikiran-pikiran jeniusnya. Andai aku bisa mengintipnya dan mengetahui apa saja yang dia bawa. Tapi kembali lagi, aku hanya bisa diam berdiri di sini menjalankan tugasku.

Seperti sore ini , hujan kembali turun menyapaku. Kusambut hujan dengan senyum mengembang , aku tahu ini adalah jam-jam si gadis akan datang menghampiriku.

Dan itu dia datang dengan payung merah jambu yang sudah terkembang. Dia berjalan pelan sambil bersenandung, melangkah pelan ke arahku.

Tasnya diletakkan di bawahku dan tubuhnya bersandar di badanku. Ah ingin kurengkuh dia, atau kuajak dia menikmati teh hangat. Entah ke mana hilangnya keberanian yang sudah kupersiapkan tadi.

Tiba-tiba ada seorang cowok yang berlari kecil ke arah kami. Cowok itu menutupi kepalanya dengan sebuah kertas , sepertinya dia baru di daerah ini. Baru kali ini aku melihatnya.

Mereka berdua saling memandang, aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku berharap cowok ini segera pergi meninggalkan kami.

“Barengan aja yuk payungnya.” gadisku menawarkan payungnya ke cowok itu. Cowok itu terlihat bingung dan “ Makasih ya, tidak apa-apa nih barengan?” tawarnya.

“Gak papa, nunggu bus jalur 10 toh? Aku juga. Cuma bus itu yang lewat di sini kalo udah sore-sore.” . si cowok itu tersenyum dan menerima tawaran gadisku. Aku hanya bisa mengutuk-ngutuk dalam hati. Tidak rela akan keadaan ini.

“Namaku Andi, kamu siapa?” Tanya cowok itu.

“Aku Vanka. Sepertinya kita satu kampus deh. Aku sering melihatmu di kantin.” . Oh, namanya Vanka. Setelah sekian lama dan aku baru tahu namanya hari ini. Oke aku berterima kasih dengan Si Andi ini.

Dan merekapun bercakap-cakap berdua di tengah hujan ini. Terdengar tawa gelak Vanka yang begitu renyah. Baru sore ini aku mendengarnya.

Karena si Andi ini, aku mengetahui banyak hal baru tentang Vanka. Seperti bahwa dia senang membuat kue , dia senang music Jazz , dia suka membaca buku Agatha Christie dan dia adalah anak kesayangan bapaknya.

Dan ternyata mereka mempunyai banyak persamaan. Aku terdiam mematung di sebelah mereka. Terpaksa mendengarkan percakapan yang sudah lama kubayangkan terjadi antara aku dan Vanka.

Harusnya aku bisa menjadi Andi. Berbicara dengan santai dengan Vanka. Hujan kembali deras seolah ingin mentertawakanku.

Bus jalur 10 yang mereka tunggu pun tidak datang jua. Setelah sejam menunggu , akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan pulang, berdua. Andi akan menemani Vanka pulang.

Dan aku hanya bisa memperhatikan mereka berjalan menjauh. Di bawah naungan payung merah jambu , sosok mereka berdua menghilang di persimpangan depan.

Aku ditinggal sendiri di sini. Hanya bersama hujan yang masih tetap mentertawakan kebodohanku. Kebodohanku yang tak pernah melakukan apapun selain mengagumi.

Andi itu seharusnya aku. Seharusnya aku yang berada di bawah payung merah jambu bersama Vanka.

Harusnya aku yang dapat membuat Vanka tersenyum dan tertawa di kala hujan. Bukan Andi.

Tapi aku sadar siapa diriku. Aku hanyalah sebuah tiang rambu lalu lintas. Tiang yang sering dijadikan tempat menunggu bus oleh orang-orang di sekitarku.

Takkan mungkin aku bisa menyapa Vanka. Takkan mungkin aku bisa memayunginya. Takkan mungkin aku bisa merangkuhnya di tengah dingin hujan. Aku sadar siapa diriku.

Tapi takkan pernah kusesali tugasku dan takkan pernah kusesali hujan. Karena tugasku dan hujanlah aku bisa bertemu Vanka. Vanka telah menghiasi semua hujanku.

Payung merah jambu itu mungkin tidak akan pernah kulihat lagi. Karena musim panas akan segera datang. Menggantikan hujan yang mungkin hanya akan datang sesekali saja.

Aku akan tetap di sini menjalankan tugasku. Sambil berharap akan kunjungan Vanka , walau tanpa payungnya. Walau takkan ada momen hujan bersamanya lagi.