Jendela Kotak Berbingkai Kayu Merah

Dina duduk termangu menatap keluar. Di sini setahun yang lalu , dari jendela ini dia pertama kali bertemu dengan Angkasa. Dia ingat tiap detik pertemuan itu. Ketika dia melihat Angkasa yang saat itu sedang menyeberang jalan dan sebuah mobil hampir saja menabraknya. Dina ingat dia segera bergegas keluar kafe itu dan menolong Angkasa. Itulah pertama kali mereka bertemu dan kisah itu pun mengalir dengan sangat indah. Tidak dapat ditolak perkenalan itu berjalan ke arahyang membahagiakan.

Dina menitikkan air matanya. Angkasa kini telah pergi. Dia ingat berjanji untuk tidak menangis. Tapi kedua matanya tidak dapat membendung luapan sungai emosi yang selama ini dia tahan. Angkasa pergi dan kini dia sendiri di kafe itu mengenang kisah mereka. “This is for you dear” ucapnya lirih. Dia lalu meletakkan mawar putih yang dia bawa di sudut jendela itu. Dina pun beranjak pergi dan berjanji takkan kembali ke tempat itu.

Jendela Kaca Bundar

Mince sudah berada di tempat biasa dia memulai hari. Duduk manis di depan jendela dan menatap keluar. Pagi itu dia sudah mandi , sudah menyisir rambutnya , sudah melahap habis sarapannya , Mince mengingat-ingat semua ritual paginya dengan baik. Dan kini tinggal menghabiskan hari di depan jendela. Dia pandangi jalanan di luar jendela itu. Tampak orang-orang sibuk berlalu lalang. Jalanan depan rumah itu memang jalan yang sering dilewati orang. Mince mengamati matahari dan berusaha menebak rasa hangatnya. Pandangan Mince lalu menangkap seekor burung cemara yang terbang mengitari jendela itu dari luar. Mince menatapnya dan burung itu hanya berkicau riang seolah menertawakan Mince. Suara pedangang soto yang sedang menjajakan dagangannya mengalihkan tatapan Mince. Sudut matanya mengikuti si abang Soto berjalan mengunjungi rumah dan ruko yang ada di jalan itu. Mince ingin sekali berada di jalanan itu. Dia ingin merasakan sinar matahari, hiruk pikuk jalanan dan bernyanyi bersama burung itu. Tapi dia tidak bisa. Dia terkurung di ruangan ini. Mince lalu jatuh tertidur karena lelah berkhayal.

Ketika bangun, dia melihat jendela itu terbuka sedikit, akal Mince pun berjalan cepat. Dengan susah payah, dia masukkan tangannya ke celah tipis itu, ah hanya tangan saja yang bisa melewati celah itu. Lalu dia mengumpulkan tenaganya dan mendorong celah itu dengan kedua tangan serta kepalanya. Lama-lama celah itu semakin membesar, dan akhirnya terbuka lebar sehingga badan Mince bisa melewatinya. Mince pun melesatkan badannya keluar, melompat ke atas genteng sebelah. Dengan lincah dia menuruni pohon yang menempel dengan genteng dan akhirnya mendarat dengan mulus di aspal jalan. Sayup-sayup dia mendengar teriakan dari balik jendela “HEH Siapa yang buka jendelanya! Mince kabur! MINCE!!” suara Anita tuannya terdengar kecil dari jalanan ini. Mince hanya mengeluarkan suara erangan pelan , lalu berlari menelusuri jalanan dengan ke empat kakinya yang lincah.

Jendela Kaca Berbingkai Kayu Emas

Tassia bermain di halaman dengan boneka kesayangannya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke arah jendela kaca di samping rumah. Terlihat sosok ayahnya yang sedang duduk sambil mengetik dengan tampang serius. Tassia menatap ayahnya, dan ayah menyadarinya. Ayahnya memandang ke luar dan tersenyum kepada Tassia. Tassia lalu melambaikan tangannya dengan semangat sambil memanggil nama ayahnya. Sayang Ayah Tassia sudah kembali larut dalam pekerjaannya. Tassia pun hanya cemberut lalu bermain lagi. Keesokan harinya Tassia sudah mandi dan siap bermain di luar. Dilhatnya ayahnya masih sibuk dengan pekerjaan, Tassia lalu mengendap-endap di bawah jendela , dan tiba-tiba dia mengejutkan sang Ayah. Ayahnya kaget dan memarahi Tassia. Tassia berlari menangis menuju Ibu. Ibu Tassia lalu tersenyum dan memeluk Tassia erat, “sabar ya, Ayah sedang sibuk bekerja”. Sore keesokan hari, Tassia kembali mengintip Ayahnya dari luar jendela, kali ini dia tidak mengagetkan Ayahnya. Tassia hanya berdiri menatap sang Ayah dari luar dengan muka menempel di jendela. Ayah Tassia tidak menyadarinya, lama Tassia berdiri di situ sampai kakinya mulai terasa pegal. Ayahnya tetap tidak menoleh ke arahnya. Tassia pun kembali cemberut.

Hari ini, Tassia bermain lagi di halaman, kali ini dia tidak mau melirik ke jendela itu. Dia tahu ayahnya sedang sibuk bekerja, dia tidak ingin mengganggu ayahnya lagi. Tassia hanya ingin bermain dengan Ayah. Sudah lama mereka tidak bercanda bersama. Tassia sudah lupa rasa hangatnya pelukan Ayah. Ayah Tassia di ruangan itu bekerja dengan tekun. Dia merasa ada yang hilang hari itu. Ketika dia menolehkan pandangannya ke arah jendela, dia lihat boneka Tassia sudah bertengger manis di jendela, beserta sebuah kertas dengan tulisan anaknya yang sangat dia hafal.

“Tassia kangen Ayah”